Andai Norman Edwin Masih Ada

Ketika banyak orang di Indonesia, baik mengatasnamakan kelompok maupun perseorangan berteriak – teriak mengumandangkan rencana pendakiannya ke Tujuh Puncak Tertinggi Dunia atau The Seven Summits, rasanya ada yang hilang atau hambar lantaran tidak menyebut sama sekali nama Norman Edwin. Karena pertama kali ide ini di Indonesia muncul dari dia tepat saat gairah pendakian gunung bersalju dikalangan pendaki gunung di seluruh Indonesia.

Credit foto by Kompas

Saat membaca buku “Catatan Sahabat Sang Alam“, lembaran – lembaran ingatan tentang ujung pangkal perintisan ide “Tujuh Puncak Dunia” itu serasa kembali melintas, yaitu ingatan tentang Norman dan proyek pendakian Tujuh Puncak Dunia – nya ini. Dari buku setebal 423 halaman inilah, Rudi Badil, sang editor, meletakkan porsi “Tujuh Puncak Benua” sebagai awal pembuka ingatan kita akan sosok Norman Edwin dan proyek prestisius tersebut.

image_t6

Tanpa maksud jumawa, mungkin saja, Badil di buku ini mau menegaskan bahwa rasanya tidak fair melupakan sosok Norman dan Mapala UI —sebagai bendera yang menaungi ide Norman merancang program ekspedisi pendakian puncak gunung – gunung bersalju abadi itu— yang sudah lebih dulu menancapkan tonggak sejarah pendakian Tujuh Puncak Benua. Selain itu, kebetulan saat itu Norman dan Mapala UI sudah mengantongi lima dari tujuh puncak gunung di tujuh benua yang diincarnya, yaitu Carstenz Pyramid ( Australiasia ), Kilimanjaro ( Afrika ), McKinley ( Amerika ), Elbrus ( puncak tertinggi Eropa ), dan Aconcagua ( Amerika Selatan ).

Norman tewas hanya beberapa meter menjelang puncak Gunung Aconcagua, 21 Maret 1992. Puncak kelima yang diharapkan Norman menjadi puncak kelima dari Tujuh Puncak Benua, obsesinya. Norman tewas bersama rekannya, Didiek Samsu, saat dunia pendakian gunung di Indonesia tengah hingar – bingarnya menorehkan banyak prestasi, mulai dari kalangan anak muda bercelana abu – abu alias SMA, pecinta alam tingkat mahasiswa, sampai klub – klub pendaki gunung yang tak terhitung jumlahnya.

Lalu kini, setelah hampir 22 tahun Norman tiada, apa manfaatnya “anak – anak sekarang” perlu mengenal Norman, apalagi hanya lewat sebuah buku?

Kiranya, inilah bagian yang tak kalah pentingnya dari semua tulisan di buku ini. Bahwa Norman adalah sosok petualangan di “zaman doeloe“, memang betul. Tetapi, tentu tidak ada salahnya menyebut Norman juga sebagai seorang “guru” masa kini yang mau menurunkan ilmunya karena ilmu itu masih bisa dimanfaatkan sampai sekarang.

Inilah relevansinya buku ini diterbitkan pada zaman 2000 – an. Zaman di mana Facebook dan Twitter atau blog, serta semua tren jejaring internet yang sedang up to date ini, tak dikenal baik oleh Norman.

Di buku inilah, Badil membuat Norman bisa menjadi teman dekat, senior, sekaligus guru yang mau berbagi ilmunya tentang tentang ekspedisi. Bahkan, makna harfiah tentang ekspedisi itu dikupas lagi di buku ini lantaran maknanya banyak disalahkaprahkan.

Apakah pendakian ke puncak Gunung Semeru sebagai puncak tertinggi di Pulau Jawa itu bisa disebut ekspedisi? Sejatinya, apa arti ekspedisi? Apakah negeri yang bernama Indonesia ini sekarang semakin mudah dijangkau sehingga yang disebut dengan “ekspedisi” itu semakin kurang berarti?

Pelajaran lain yang dipetik di buku ini adalah, Norman tak pernah mengganggap enteng gunung – gunung mana pun di Tanah Airnya. Ya, sekalipun itu Gunung Gede atau Pangrango yang kerap hanya dijadikan area “piknik” sejenak kepenatan anak – anak pecinta alam di Jakarta, Bogor, atau Bandung yang dekat dengan gunung itu.

Pada tahun masa – masa Norman hidup, ternyata kawasan gunung ini banyak memakan korban, terutama mereka yang mengaku – aku pecinta alam atau pendaki gunung yang “sok jago” karena menyepelekan persiapan mendakinya di kedua gunung itu. Di buku inilah, cerita pengalaman Norman menjadi anggota Search And Rescue ( SAR ) dan juga “bos” dalam pencarian korban tewas Hengky dan Robby, mahasiswa Universitas Trisakti, Jakarta, di Gunung Gede Pangrango dan tujuh siswa STM Pembangunan Jakarta di Gunung Salak, sangat relevan dengan dunia pecinta alam dan pendakian saat ini. Bukankah masih terekam jelas di benak kita, bagaimana gunung – gunung yang kerap dianggap “ecek – ecek” seperti Gede – Pangrango, Salak, Ceremai, atau Gunung Slamet kerap masih memakan korban sejak hampir 22 tahun lalu Norman pergi?

Tingginya gunung, derasnya jeram sungai, gua – gua yang gelap pekat atau dahsyatnya gelombang laut yang pernah dijelajahi Norman adalah bentukan alam yang tetap selalu dekat dengan mereka yang sampai saat ini mengaku sebagai pecinta alam atau penjelajah alam bebas. Kejuaran panjat dinding di kampus – kampus atau sekolah yang kini semakin di gilai dan banyak mendatangkan sponsor lebih sarat sorak sorai penonton ketimbang ekspedisi penjelajahan ilmiah seperti yang kerap dilakukan Norman dan teman – temannya dahulu di buku ini.

Itulah pesan akhir buku ini, Norman Edwin; Catatan Sahabat Sang Alam. Mengingat Norman, rasanya sedang mengingat sesosok teman, sahabat, senior, juga guru, yang tak pernah jemu membagi rahasianya menjelajahi alam bebas Indonesia dan dunia lain yang belum terjamah oleh tangan – tangan manusia.

Ingat Norman, ingat selalu akan “pekerjaan rumahnya“, Puncak Tujuh Benua yang belum juga tuntas. Mengenal Norman seolah mengenal satu arahan bahwa Indonesia masih begitu luas untuk dijelajahi dan perlu untuk menambah rasa nasionalisme anak – anak muda masa kini yang rasa – rasanya semakin jauh dari alam Indonesia sebagai tanah airnya sendiri. Dan semua itu, tentu demi kecintaan anak – anak Indonesia akan tanah airnya sendiri, tanah air Indonesia.

#‎CeritaUntukIndonesia

Leave a comment