Jika Suamimu Seorang Pendaki

Apa yang ada dibenak kalian jika mendengar kata ‘pendaki gunung’? Boleh jadi seorang lelaki dengan carrier besar, celana pdl, sepatu gunung, buff bercorak bunga atau sulur abstrak, windbreaker dan sarung tangan tebal, rambut acak-acakan yang terkesan kumal, dan kulit gelap khas terbakar Matahari.

20140528_092957


Aku adalah seseorang yang nantinya berprofesi tak dekat dengan alam. Tapi tak bisa kupungkiri aku memiliki ketertarikan terhadap alam. Ya, aku adalah seorang pendaki gunung. Aku tahu, kesan seorang pendaki gunung identik dengan kesan kotor dan urakan, tapi perlu kau ketahui wahai calon istriku, aku adalah seorang pendaki yang berbeda dengan image pendaki gunung seperti itu. Banyak diluar sana para pendaki yang masih  menjaga etikanya, kerapihannya, serta tata kramanya dan aku termasuk salah satu diantaranya.

IMG-20140705-WA0052

Calon istriku, sebagai seorang pendaki tak perlu kau cemas jika kelak aku menghabiskan hari – hariku di alam. Bukan maksudku ingin meninggalkanmu, tapi inilah salah satu caraku untuk mendekatkan diri pada Yang Maha Kuasa. Tidak sehari dua hari aku pergi meninggalkanmu, bahkan mimpiku menaklukkan 7 puncak dunia bisa memakan waktu hingga 3 tahun tak bertemu denganmu. Tak perlu kau khawatir. Aku telah menitipkan diriku dan dirimu pada Tuhan. Aku bertekad pada diri ini untuk kembali bersua denganmu.

Calon istriku. Bukan berarti aku tak punya tujuan dengan aku pergi mendaki. Justru para pendaki gunung adalah orang yang memiliki tujuan yang mantap dan jelas. Apalagi kalau bukan puncak gunung. Aku tidak memiliki istilah “Mengalir sajalah ikuti arus”.

Menjejak di puncak adalah tujuan akhir dari perjalanan panjang nan melelahkan. Jika belum mencapainya, maka aku akan menjadikan ini sebagai hutang yang harus dibayar. Puncak akan tetap diam dalam indahnya menunggu diriku. Layaknya Engkau yang Setia menungguku kembali..

Prinsip inilah yang menjadikan tekad ku kuat dalam menggapai puncak – puncak kehidupan.

Calon istriku. Perjalanan ini tak mudah. Perlu proses yang panjang dan kerja keras dalam mencapainya. Tak bisa tetiba aku ada di puncak menikmati Mentari terbit dan terbenam yang sungguh elok memesona. Aku harus sabar dan menghargai setiap proses hingga aku dapat menikmati hasilnya. Aku juga belajar menjadi pribadi yang tak mudah menyerah menghadapi medan juang yang begitu berat.

Calon istriku. Jika kau hidup bersamaku, kesabaran dan kesetiaan adalah nilai utama yang aku tanamkan dalam hidup mu. Ya, aku tahu kau khawatir menungguku kembali. Tapi tahukah engkau? Saat aku berada di puncak gunung, aku merasa sangat dekat dengan Tuhan.

Tak lupa aku menyelipkan namamu ketika berdoa di tanah tinggi ini. Aku menitipkan pesan kepada Tuhan bahwa aku telah tiba dan tak perlu engkau khawatir. Jikalau aku telah tiba kembali di titik awal pendakian, aku akan menghubungimu. Tak peduli selelah apa aku. Yang aku inginkan hanya mendengar suaramu. Mendengar celotehanmu. Mendengar ceritamu selama kutinggalkan. Ah, lelahku hilang tak berbekas karenanya.

P1100333

IMG_20140831_095200 IMG_20140831_114409


Calon istriku. Maukah kau hidup bersamaku? Ditengah resiko aku meregang nyawa dalam perjalanan? Ditengah resiko aku kehilangan bagian tubuhku saat mendaki? Maukah kau menungguku dengan setia? Sanggupkah kau sabar menantiku? Hanya satu yang dapat aku berikan. Janji.

Ya janji. Peganglah janjiku..  Aku pergi untuk kembali.. Percayalah.. Aku selalu ada dan akan kembali untukmu..

#G4D4Adventure

-FA-

Andai Norman Edwin Masih Ada

Ketika banyak orang di Indonesia, baik mengatasnamakan kelompok maupun perseorangan berteriak – teriak mengumandangkan rencana pendakiannya ke Tujuh Puncak Tertinggi Dunia atau The Seven Summits, rasanya ada yang hilang atau hambar lantaran tidak menyebut sama sekali nama Norman Edwin. Karena pertama kali ide ini di Indonesia muncul dari dia tepat saat gairah pendakian gunung bersalju dikalangan pendaki gunung di seluruh Indonesia.

Credit foto by Kompas

Saat membaca buku “Catatan Sahabat Sang Alam“, lembaran – lembaran ingatan tentang ujung pangkal perintisan ide “Tujuh Puncak Dunia” itu serasa kembali melintas, yaitu ingatan tentang Norman dan proyek pendakian Tujuh Puncak Dunia – nya ini. Dari buku setebal 423 halaman inilah, Rudi Badil, sang editor, meletakkan porsi “Tujuh Puncak Benua” sebagai awal pembuka ingatan kita akan sosok Norman Edwin dan proyek prestisius tersebut.

image_t6

Tanpa maksud jumawa, mungkin saja, Badil di buku ini mau menegaskan bahwa rasanya tidak fair melupakan sosok Norman dan Mapala UI —sebagai bendera yang menaungi ide Norman merancang program ekspedisi pendakian puncak gunung – gunung bersalju abadi itu— yang sudah lebih dulu menancapkan tonggak sejarah pendakian Tujuh Puncak Benua. Selain itu, kebetulan saat itu Norman dan Mapala UI sudah mengantongi lima dari tujuh puncak gunung di tujuh benua yang diincarnya, yaitu Carstenz Pyramid ( Australiasia ), Kilimanjaro ( Afrika ), McKinley ( Amerika ), Elbrus ( puncak tertinggi Eropa ), dan Aconcagua ( Amerika Selatan ).

Norman tewas hanya beberapa meter menjelang puncak Gunung Aconcagua, 21 Maret 1992. Puncak kelima yang diharapkan Norman menjadi puncak kelima dari Tujuh Puncak Benua, obsesinya. Norman tewas bersama rekannya, Didiek Samsu, saat dunia pendakian gunung di Indonesia tengah hingar – bingarnya menorehkan banyak prestasi, mulai dari kalangan anak muda bercelana abu – abu alias SMA, pecinta alam tingkat mahasiswa, sampai klub – klub pendaki gunung yang tak terhitung jumlahnya.

Lalu kini, setelah hampir 22 tahun Norman tiada, apa manfaatnya “anak – anak sekarang” perlu mengenal Norman, apalagi hanya lewat sebuah buku?

Kiranya, inilah bagian yang tak kalah pentingnya dari semua tulisan di buku ini. Bahwa Norman adalah sosok petualangan di “zaman doeloe“, memang betul. Tetapi, tentu tidak ada salahnya menyebut Norman juga sebagai seorang “guru” masa kini yang mau menurunkan ilmunya karena ilmu itu masih bisa dimanfaatkan sampai sekarang.

Inilah relevansinya buku ini diterbitkan pada zaman 2000 – an. Zaman di mana Facebook dan Twitter atau blog, serta semua tren jejaring internet yang sedang up to date ini, tak dikenal baik oleh Norman.

Di buku inilah, Badil membuat Norman bisa menjadi teman dekat, senior, sekaligus guru yang mau berbagi ilmunya tentang tentang ekspedisi. Bahkan, makna harfiah tentang ekspedisi itu dikupas lagi di buku ini lantaran maknanya banyak disalahkaprahkan.

Apakah pendakian ke puncak Gunung Semeru sebagai puncak tertinggi di Pulau Jawa itu bisa disebut ekspedisi? Sejatinya, apa arti ekspedisi? Apakah negeri yang bernama Indonesia ini sekarang semakin mudah dijangkau sehingga yang disebut dengan “ekspedisi” itu semakin kurang berarti?

Pelajaran lain yang dipetik di buku ini adalah, Norman tak pernah mengganggap enteng gunung – gunung mana pun di Tanah Airnya. Ya, sekalipun itu Gunung Gede atau Pangrango yang kerap hanya dijadikan area “piknik” sejenak kepenatan anak – anak pecinta alam di Jakarta, Bogor, atau Bandung yang dekat dengan gunung itu.

Pada tahun masa – masa Norman hidup, ternyata kawasan gunung ini banyak memakan korban, terutama mereka yang mengaku – aku pecinta alam atau pendaki gunung yang “sok jago” karena menyepelekan persiapan mendakinya di kedua gunung itu. Di buku inilah, cerita pengalaman Norman menjadi anggota Search And Rescue ( SAR ) dan juga “bos” dalam pencarian korban tewas Hengky dan Robby, mahasiswa Universitas Trisakti, Jakarta, di Gunung Gede Pangrango dan tujuh siswa STM Pembangunan Jakarta di Gunung Salak, sangat relevan dengan dunia pecinta alam dan pendakian saat ini. Bukankah masih terekam jelas di benak kita, bagaimana gunung – gunung yang kerap dianggap “ecek – ecek” seperti Gede – Pangrango, Salak, Ceremai, atau Gunung Slamet kerap masih memakan korban sejak hampir 22 tahun lalu Norman pergi?

Tingginya gunung, derasnya jeram sungai, gua – gua yang gelap pekat atau dahsyatnya gelombang laut yang pernah dijelajahi Norman adalah bentukan alam yang tetap selalu dekat dengan mereka yang sampai saat ini mengaku sebagai pecinta alam atau penjelajah alam bebas. Kejuaran panjat dinding di kampus – kampus atau sekolah yang kini semakin di gilai dan banyak mendatangkan sponsor lebih sarat sorak sorai penonton ketimbang ekspedisi penjelajahan ilmiah seperti yang kerap dilakukan Norman dan teman – temannya dahulu di buku ini.

Itulah pesan akhir buku ini, Norman Edwin; Catatan Sahabat Sang Alam. Mengingat Norman, rasanya sedang mengingat sesosok teman, sahabat, senior, juga guru, yang tak pernah jemu membagi rahasianya menjelajahi alam bebas Indonesia dan dunia lain yang belum terjamah oleh tangan – tangan manusia.

Ingat Norman, ingat selalu akan “pekerjaan rumahnya“, Puncak Tujuh Benua yang belum juga tuntas. Mengenal Norman seolah mengenal satu arahan bahwa Indonesia masih begitu luas untuk dijelajahi dan perlu untuk menambah rasa nasionalisme anak – anak muda masa kini yang rasa – rasanya semakin jauh dari alam Indonesia sebagai tanah airnya sendiri. Dan semua itu, tentu demi kecintaan anak – anak Indonesia akan tanah airnya sendiri, tanah air Indonesia.